Ada sebuah cerita yang menurut saya bisa memberi gambaran
yang jelas tentang pentingnya integritas dalam menjalankan peran kehidupan. Ada
seorang ahli kunci yang usianya sudah sangat renta. Ia merasa harus segera
mewariskan ilmunya. Ia hendak mewariskan keahliannya itu kepada satu diantara
dua murid yang selama beberapa tahun ini dididiknya. Untuk memilih satu
diantara keduanya, sang ahli mengadakan ujian terakhir kepada keduanya.
Sang guru menyiapkan dua kotak yang berisi beragam perhiasan
berharga. Kotak itu terkunci digembok yang kuat. Masing-masing murid diberi
satu kotak yang mereka belum tahu isi kedua kotak itu. Mereka diuji siapakah
yang paling cepat membuka gembok dari kotak tersebut.
Kedua murid akhirnya masuk dalam waktu yang bersamaan ke
dalam ruangan yang telah disediakan. Tak butuh waktu yang lama, salah satu
murid tiba-tiba keluar dari ruangan sambil membawa gemboknya. Sang guru bilang,
“ Kamu cepat sekali menyelesaikannya, apa isi kotak itu?” Murid pertama
menjawab, “ Emas dan permata yang berkilau, guru. Pasti harganya sangat mahal.”
Beberapa saat kemudian, murid kedua keluar. Guru pun tanya
kepadanya,” Kamu telat muridku, ia bisa menyelesaikan lebih cepat darimu. Oh
ya, apa isi kotakmu?” Murid kedua menjawab dengan lugu, “Maaf guru, saya tidak
tahu. Saya kira membuka kotak itu dan melihat isinya bukan termasuk dalam ujian
ini.”
Sang guru tersenyum puas dengan jawaban murid kedua. Ia
kemudian memilih murid kedua sebagai orang yang akan mewarisi keahliannya
sebagai tukang kunci terbaik.
Murid pertama protes pada gurunya, “ Guru, bagaimana bisa
guru memilih dia sebagai penerus guru. Padahal jelas-jelas saya yang bisa
membuka gembok itu lebih cepat ketimbang dia. Guru tidak adil.”
Sang guru pun menjelaskan dengan bijak, “ Muridku, ingatlah,
profesi kita adalah seorang tukang kunci. Tugas kita adalah membantu orang
untuk membuka gembok yang kuncinya hilang atau rusak. Hanya itu. Sedangkan
untuk tahu isinya bukanlah wewenang kita. Bisa jadi isi kotak itu adalah
rahasia dari pemiliknya. Maka tidak dibenarkan kita menuruti rasa penasaran
kita terhadap isi kotak itu. Hanya pemiliknya saja yang berhak tahu isinya.
Inilah etika profesi yang harus kita pegang sebagai tukang kunci. Tanpa etika,
pekerjaan kita bisa berakibat keburukan.”
Akhirnya murid pertama pun mengerti maksud dan tujuan dari
guru tersebut.
Kawan. Ketika kita mendengar istilah profesional, kebanyakan
yang terbayang dalam benak kita adalah suatu pekerjaan ahli dari yang ahli.
Benarkan? Entah itu konsultan, pengacara, dokter, insinyur, dan lain
sebagainya.
Namun satu hal yang selama ini banyak dilupakan, bahwa dalam
kata profesional sebenarnya melekat tentang tanggung jawab moral, dan etika
dalam menjalankan profesi yang ditekuninya.
Sayangnya, saat ini profesionalisme telah mengalami
penyempitan makna. Pengertian professional kini dipahami lebih dekat kepada
standar bayaran yang tinggi serta penampilan yang mewah. Tak peduli bagaimana
moral orang tersebut. Asalkan ia berpenampilan sebagai ahli dan pakar dalam
bidangnya, cukuplah baginya memegang sebutan profesional.
Padahal dengan jelas pengalaman membuktikan betapa pentingnya
etika dalam kehidupan. Jika kita membaca sejarah, kita akan menemukan bahwa
prinsip yang paling menonjol dari perjalanan bisnis Rasulullah adalah petuah
klasik yang mengatakan ‘ Money is not
number one capital in business, the number one capital is trust.’ Uang
bukanlah modal utama dalam berbisnis. Ketika penipuan, kompetisi tak sehat,
pengurangan takaran, serta persengketaan menjadi suatu hal yang lazim dalam
praktik bisnis pada saat itu sampai sekarang.
Jadi profesionalisme bukan hanya bersandar pada seberapa ahli
kemampuan seseorang menjalani profesi yang ditekuni, tapi yang lebih memegang
peranan lebih penting adalah akhlak dan moralnya. Bila ada orang punya keahlian
tapi miskin moral, maka dia disebut amatir. Artinya tidak terlatih secara penuh
sebagai seorang yang professional. Maka jadilah seorang professional yang bukan
ahli dalam bidangnya saja, tapi dalam akhlaknya juga.
Kita pasti bisa, jika kita mau ! J